Pasal 76
Pemberian Konseling Psikologi/ Psikoterapi bagi yang Menjalani
Konseling Psikologi/Psikoterapi sebelumnya
Psikolog
saat memutuskan untuk menawarkan atau memberikan layanan kepada
orang yang akan menjalani konseling psikologi/psikoterapi yang sudah pernah
mendapatkan konseling psikologi/psikoterapi dari sejawat psikolog lain,
harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a)
Psikolog tersebut perlu berhati-hati dalam mempertimbangkan keberpihakan kepada
kesejahteraan orang yang menjalani proses konseling/psikoterapi serta
menghindari potensi konflik dengan psikolog yang sebelumnya telah memberikan
layanan yang sama.
b)
Psikolog perlu mendiskusikan isu perawatan atau konseling psikologi
/psikoterapi dan kesejahteraan orang yang menjalani konseling
psikologi/psikoterapi dengan pihak lain yang mewakili orang yang menjalani
konseling psikologi/psikoterapi tersebut dalam rangka meminimalkan risiko
kebingungan dan konflik.
c)
Jika memungkinkan, psikolog mengkomunikasikan kepada psikolog pemberi layanan
praktik sebelumnya kemudian melanjutkan secara hati-hati serta peka pada
isu-isu terapeutik.
Pasal 76 menjelaskan bahwa sebagai seorang psikolog harus
mementingkan kebutuhkan klien. Dalam menawarkan atau menerima pasien yang telah
menjalani konseling, harus memperhatikan kesejahteraan klien, konselor
menawarkan jasanya berdasar pada kompetensi konselor yang dinilai mampu
menangani klien dan tujuannya untuk membantu klien. Kepentingan pribadi konselor
tidak boleh dijadikan alasan melakukan konseling pada klien, seperti
kepentingan konselor untuk mendapatkan klien atau mendapatkan imbalan.
Konselor juga harus menjaga sikapnya dalam konseling
berkaitan hubungan dengan konselor lain. Konselor tidak melakukan sikap-sikap
yang dapat menimbulkan konflik dengan konselor lain yang sebelumnya menangani
klien. Sikap yang dapat memicu konflik seperti menjelekkan konselor lain secara
langsung atau tidak langsung demi kepentingan pribadi konselor. Seperti upaya
mendapatkan klien, upaya membuat klien kembali konseling kepada dirinya
dibanding kepada konselor lain yang sebelumnya menangani klien.
Pengalaman klien yang pernah melakukan konseling sebelumnya
bisa menimbulkan kebingungan dan konflik. Kebingungan dan konflik dapat muncul
dikarenakan perbedaan penanganan yang ada atau perbedaan konselor yang
menangani. Oleh karena itu, penting bagi konselor untuk mendiskusikan dengan
pihak lain yang mewakili klien dalam konseling. Dengan mendiskusikan dengan
pihak lain, dapat memahami keadaan konseling yang sebelumnya dialami klien,
sehingga dapat melakukan penanganan yang tepat.
Konselor sebaiknya mengkomunikasikan dengan psikolog yang
sebelumnya menangani. Berkomunikasi dengan psiklog yang sebelumnya menangani
dapat meningkatkan pemahaman konselor mengenai kondisi klien dan apa saja
penanganan yang telah klien terima. Pemahaman yang baik mengenai kondisi klien
dapat membantu konselor melakukan follow up terhadap penanganan klien.
Sehingga konselor dapat menentukan langkah apa yang tepat yang seharusnya
dilakukan dan tidak dilakukan atau yang harus dikembangkan dalam penanganan
klien demi kesejahteraan klien.
Pasal 76 tersebut sangat erat dengan proses referral
dalam konseling. Referral merupakan perujukan pasien kepada konselor
lain yang dirasa lebih kompeten dalam menangani klien. Proses referral
dapat dilakukan apabila konselor yang sebelumnya menangani klien, merasa bahwa
tidak mampu memberikan pelayanan yang diperlukan klien. Ketidak mampuan
tersebut bisa disebabkan oleh berbagai penyebab yang ada. Seperti, keprihatinan
klien di luar kompetensi konselor, kepribadian yg berbeda sehingg akan
mempengaruhi proses konseling, klien teman dekat atau saudara, ketika klien
enggan mendiskusikan masalahnya karena berbagai alasan, atau jika dirasa
hubungannya dg klien tidak efektif.
Bagi konselor yang menjadi tujuan rujukan (menerima pasien)
atau menawarkan jasanya, harus
memperhatikan pasal 76 kode etik psikologi Indonesia. Sehingga dalam penanganan
klien, konselor dapat melakukan sikap yang tepat yang mementingkan kepentingan
kesejahteraan klien, dan dapat melindungi konselor dalam bertindak.
Penulisan
artikel ini, berdasarkan pemahaman pribadi penulis dalam pemaknaan
pasal 76 kode etik psikologi Indonesia. Tidak ada kepentingan pribadi
dalam penulisannya. Apabila terdapat pihak-pihak yang merasa isi artikel
ini merusak pemahaman pasal 76 kode etik psikologi Indonesia, silahkan
hubungi admin dan penulis di errizqie@gmail.com untuk memperbaiki isi artikel ini.
Baca artikel lain seputar materi kuliah Psikologi di halaman Materi Kuliah Psikologi